Beranda | Artikel
Mencampuri Isteri pada Bagian Dubur
Rabu, 6 April 2022

BAB II
HAK-HAK ISTERI ATAS SUAMINYA

Pasal 8
Mencampuri Isteri pada Bagian Dubur
Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shahiihnya (no. 1435) dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Orang-orang Yahudi pernah mengatakan, ‘Jika seseorang berjima’ dengan isterinya dari duburnya pada bagian depan, maka anaknya akan bermata juling, lalu turunlah ayat:

نِسَاۤؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ ۖ فَأْتُوْا حَرْثَكُمْ اَنّٰى شِئْتُمْ ۖ

Isteri-isteri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanam kalian itu bagaimana saja kalian kehendaki.”  [Al-Baqarah/2: 223]

Dan dalam sebuah riwayat ditambahkan:

إِنْ شَاءَ مُجَبِّيَةً، وَإِنْ شَاءَ غَيْرَ مُجَبِّيَةٍ غَيْرَ أَنَّ ذَلِكَ فِي صِمَامٍ وَاحِدٍ.

Jika mau, bisa mujabbiyah (nungging) dan jika mau, bisa juga tidak mujabbiyah, hanya saja hal tersebut berada dalam satu lubang (yaitu kemaluan).

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnadnya (II/210) melalui jalan Hammam, dia berkata, “Qatadah pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang mencampuri isterinya melalui duburnya, maka Qatadah menjawab, ‘Amr bin Syu’aib memberitahu kami dari ayahnya dari kakeknya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

هِيَ اللُّوْطِيَّةُ الصُّغْرَى قَالَ قَتَادَةُ وَحَدَّثَنِي عُقْبَةُ ابْنِ وَسَّاجٍ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ وَهَلْ يَفْعَلُ ذَلِكَ إِلاَّ كَافِرٌ.

Yang demikian itu termasuk luthiyah (homoseksual) kecil.’” Lebih lanjut, Qatadah mengatakan, ‘Uqbah bin Wassaj memberitahuku dari Abud Darda’, dia mengatakan, “Bukankah yang melakukan demikian itu melainkan orang yang kafir?” [Hadits ini hasan].

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnadnya (I/297) disebutkan, dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata, ‘Umar bin al-Khaththab pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, celaka aku.” “Apa yang membuatmu celaka?” tanya beliau. ‘Umar menjawab, “Tadi malam, aku putar kendaraanku.’”

Ibnu ‘Abbas berkata, “Tetapi Rasulullah tidak memberikan jawaban apa-apa. Maka Allah menurunkan wahyu kepada Rasul-Nya berupa ayat ini:

نِسَاۤؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ ۖ فَأْتُوْا حَرْثَكُمْ اَنّٰى شِئْتُمْ ۖ

Isteri-isteri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanam kalian itu bagaimana saja kalian kehendaki.’  [Al-Baqarah/2: 223]

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَقْبِلْ وَأَدْبِرْ وَاتَّقِ الدُّبُرَ وَالْحَيْضَةَ.

Datangilah dari depan, belakang, dan berhati-hatilah pada dubur dan waktu haid.’

Hadits ini melalui jalan Ja’far bin Abi al-Mughirah dari Sa’id bin Jubair. Adz-Dzahabi di dalam kitab al-Miizaan mengatakan, “Ibnu Mandah mengatakan, ‘Dia bukan seorang yang kuat pada riwayat Sa’id bin Jubair.’”

Dengan demikian, hadits dengan jalan ini adalah dha’if (lemah), tetapi bisa dipergunakan dalam syahid dan mutaba’ah.

Diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya (I/268), disebutkan dari hadits Ibnu ‘Abbas, dia berkata, “Telah turun ayat ini: نِسَاءُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ  ‘Isteri-isteri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok tanam,’ pada beberapa orang kaum Anshar yang mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka menanyakan perihal tersebut maka beliau menjawab:

ائْتِهَا عَلَى كُلِّ حَالٍ إِذَا كَانَ فِي الْفَرْجِ.

Campurilah dengan cara bagaimana saja, yang jelas masih pada kemaluan.’

Di dalam hadits ini terdapat Rusydan bin Sa’ad. Al-Hafizh mengatakan, “Dia seorang yang dha’if.” Dalam memberikan penilaian terhadapnya, Abu Hatim merajihkan (pendapat) Ibnu Lahi’ah.

Sementara Ibnu Yunus mengatakan, “Dia seorang yang shalih dalam agamanya, lalu ia tercemar oleh orang-orang yang lengah sehingga dia melakukan pencampuradukan dalam hadits.”

Dan dari Jabir bin ‘Abdullah al-Anshari dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

اِسْتَحْيُوْا، فَإِنَّ اللهَ لاَ يَسْتَحْيِ مِنَ الْحَقِّ لاَ يَحِلُّ مَأْتَاكَ النِّسَاءَ فِيْ حُثُوْشِهِنَّ.

Malukah kalian, karena sesungguhnya Allah tidak pernah malu untuk menyampaikan kebenaran. Tidak dibolehkan mendatangi isteri pada bagian duburnya.

Diriwayatkan oleh ad-Daraquthni (no. 3708) dan ia berasal dari jalan Isma’il bin ‘Iyas al-Himshi yang ia berstatus shaduq di dalam riwayatnya dari penduduk negerinya dengan mukhallith (mencampur-campur hadits) pada (riwayat) selain dari penduduk negerinya. Dan hadits ini dari riwayatnya yang berasal dari yang lainnya.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Ada tujuh golongan yang tidak akan dilihat oleh Allah pada hari Kiamat kelak dan tidak juga disucikan. Dan Dia berfirman, ‘Masuklah kalian ke Neraka bersama orang-orang yang memasukinya, yaitu pelaku dan yang menjadi obyek (homoseksual), yang bersetubuh dengan tangannya, yang menyetubuhi binatang, yang menyetubuhi wanita pada bagian duburnya, yang menikahi seorang wanita dengan anak perempuannya, yang menzinai isteri tetangganya, dan yang menyakiti tetangganya sehingga dia melaknatnya.’”

Disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Katsir saat menafsirkan ayat di atas. Yang setelahnya dia mengatakan, “Ibnu Lahi’ah dan syaikhnya adalah dha’if.” Yang dimaksud dengan syaikhnya di sini adalah ‘Abdurrahman bin Ziyad bin An’am. Dan keduanya bisa dipergunakan dalam syahid dan mutaba’ah.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لاَ يَنْظُرُ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّى إِلَى رَجُلٍ جَامَعَ امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا.

Allah Azza wa Jalla tidak akan melihat orang yang berjima’ dengan isterinya pada duburnya.” Diriwayatkan Ahmad (II/344) dan di dalamnya terdapat al-Harits bin Makhlad, yang tidak dike-tahui keadaannya.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَلْعُونٌ مَنْ أَتَى امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا.

Terlaknatlah orang yang mencampuri isterinya pada duburnya.”

Dan dalam sebuah riwayat disebutkan, “Seorang perempuan.” Diriwayatkan Imam Ahmad (II/444). Di dalamnya juga terdapat al-Harits bin Makhlad yang keadaannya tidak diketahui.

Dalil-dalil di atas secara keseluruhan tidak lepas dari kelemahan, tetapi secara keseluruhan dan dengan berbagai macam jalannya, semuanya menunjukkan ketetapan hukum yang mengharamkan mencampuri isteri pada dubur.

Firman Allah Ta’ala:

فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ

Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” [Al-Baqarah/2: 222]

Di dalam kitab Zaadul Ma’aad (IV/261), Ibnul Qayyim mengatakan, “Ayat di atas menunjukkan diharamkannya hubungan badan melalui dubur dari dua sisi:

Pertama: bahwa Allah membolehkan menggauli isteri pada ‘tempat berladang’ (kemaluan), yang merupakan tempat melahirkan anak dan bukan di dubur yang merupakan tempat keluarnya kotoran. Dan tempat berladang inilah yang dimaksudkan dari fir-man-Nya:

مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ

Di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.’

Dia berfirman:

فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ

Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanam kalian itu bagai-mana saja kalian kehendaki.’

Dan menggauli isteri pada kemaluan melalui arah belakang juga diambil dari ayat ini, karena Dia berfirman:  أَنَّى شِئْتُمْBagaimana saja yang kalian kehendaki.’ Yakni, dari arah mana saja kalian kehendaki, baik dari depan maupun belakang.

Ibnu ‘Abbas mengatakan, فَأْتُوْا حَرْثَكُمْ  ‘maka datangilah tanah tempat bercocok-tanam kalian,’ yakni kemaluan.’”

Jika Allah telah mengharamkan hubungan badan melalui ke-maluan karena kotoran yang keluar melalui jalan tersebut (haid), lalu bagaimana dengan dubur yang biasa menjadi tempat keluarnya kotoran, ditambah lagi dengan terhindarnya pencapaian keturunan dan sarana (berjima’) yang sangat dekat sekali dari dubur isteri-isteri kepada dubur anak-anak.

Selain itu, seorang wanita juga memiliki hak atas suaminya dalam hal hubungan badan. Dan mencampurinya melalui duburnya menghilangkan haknya dan tidak menghasilkan orgasme baginya serta tidak pula menghasilkan tujuan yang dimaksudkan.

Selain itu, dubur tidak disiapkan dan tidak juga diciptakan untuk hal tersebut. Dan yang disediakan untuk hal itu adalah kemaluan. Oleh karena itu, orang-orang yang menyimpang dan lebih memilih dubur, maka mereka itu telah keluar dari hikmah dan syari’at Allah.

Perbuatan tersebut juga sangat berbahaya bagi seorang suami. Oleh karena itu, para dokter yang cerdik dan para filosof serta lain-lainnya telah melarangnya. Sebab, kemaluan sebagai jalan untuk menarik air (mani) yang dikeluarkan sekaligus sebagai ketenangan bagi orang laki-laki dari dorongan nafsu. Sementara persetubuhan melalui dubur tidak membantu menarik air mani secara keseluruhan dan tidak seluruh unsur yang dikeluarkan, karena bertentangan dengan yang alami.

Selain itu, hal tersebut juga sangat berbahaya dari sisi lain, yaitu perbuatan tersebut memerlukan pada gerakan-gerakan yang melelahkan sekali, karena memang bertentangan dengan yang alami.

Kedua: dubur merupakan tempat kotoran dan najis, tetapi seseorang malah menghadapkan wajahnya ke tempat tersebut bah-kan memakainya untuk bersetubuh.

Perbuatan ini juga sangat membahayakan pihak wanita, karena ia sebagai perbuatan yang sangat aneh, jauh dari kebiasaan serta menyimpang darinya.

Selain itu, perbuatan ini dapat menimbulkan kegelisahan dan kegalauan serta menjauhkan pelaku dari obyeknya.

Perbuatan ini juga dapat membuat wajah menjadi hitam, menggelapkan dada, memadamkan cahaya hati serta mewarnai wajah dengan keliaran.

Selain itu, perbuatan ini dapat menimbulkan sikap saling menjauh dan membenci serta saling memutuskan antara pelaku dan obyeknya.

Juga dapat merusak keadaan pelaku dan yang menjadi obyek, kerusakan yang sulit sekali diperbaiki, kecuali bagi orang yang oleh Allah dikehendaki untuk bertaubat nasuha.

Perbuatan ini pun dapat menghilangkan kebaikan dari keduanya, bahkan mewarnai keburukan padanya, sebagaimana ia telah menghilangkan cinta kasih antara keduanya serta menggantinya dengan kebencian dan sikap saling melaknat.

Selain itu, perbuatan ini juga merupakan unsur yang paling besar bagi hilangnya nikmat serta datangnya kesengsaraan. Sebab, ia mendatangkan laknat dan kemurkaan dari Allah, membuat-Nya berpaling dari pelakunya serta tidak mau melihatnya. Jika demikian, lalu kebaikan apa yang diharapkan dari orang seperti ini dan keburukan apa yang akan terhindar darinya. Lalu bagaimana seorang hamba yang telah dihinggapi dengan laknat dan murka Allah akan dapat hidup tenteram? Dan Dia akan memalingkan diri darinya serta tidak akan pernah melihatnya.

Perbuatan ini juga dapat menghilangkan rasa malu secara total, padahal malu merupakan kehidupan bagi hati. Oleh karena itu, jika hati telah kehilangan rasa malu, maka ia akan menganggap yang buruk sebagai yang baik, dan yang menilai buruk pada hal yang baik. Dan pada saat itu, kerusakannya sudah bisa dipastikan.

Selain itu, perbuatan tersebut mengacaukan sistem yang telah diatur oleh Allah Ta’ala, juga mengeluarkan manusia dari alamiahnya menuju ke alam yang tidak diatur sama sekali seperti pada binatang. Bahkan hal itu sebagai kebiasaan yang bertolak belakang dengan hati, pekerjaan, dan petunjuk, yang saat itu akan menjadikan pelakunya menganggap perbuatan dan tingkah laku yang buruk sebagai suatu yang baik, merusak keadaan, perbuatan, dan ucapannya yang bukan menjadi pilihannya.

Perbuatan ini juga mewariskan sikap tidak punya rasa malu dan keberanian yang tidak pada tempatnya, dua hal yang tidak diwariskan oleh hal lainnya.

Juga mewariskan kehinaan, kebodohan, dan kenistaan, yang juga tidak diwariskan oleh hal lainnya.

Selain itu, perbuatan ini menyelimuti pelakunya dengan pakaian kemurkaan dan kebencian, cemoohan orang-orang terhadapnya juga penghinaan mereka terhadapnya serta penilaian hina terhadapnya.

Semoga shalawat dan salam senantiasa terlimpahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kebahagiaan dunia dan akhirat ada dalam petunjuknya dan mengikuti apa yang dibawanya. Sedangkan kehancuran dunia dan akhirat terletak pada penentangan terhadap petunjuk dan apa yang dibawanya.”

[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/54413-mencampuri-isteri-pada-bagian-dubur.html